AKU seorang ibu rumah tangga yang juga memiliki karir. Namaku Lila. Saat ini usiaku 31 tahun. Aku mengawali kehidupan rumah tanggaku dengan penuh kebahagiaan, sekalipun masih banyak kekurangan yang harus kami perbaiki. Namun aku tidak pernah mengeluh dan berusaha menerima kenyataan yang ada. Dengan harapan akan ada perubahan dalam rumah tanggaku di kemudian hari.
Aku sempat vakum dalam pekerjaan selama 3 tahun, sementara dalam kurun waktu itu suamiku jarang memberi nafkah kepadaku meski dia bekerja dan mempunyai gaji. Namun aku sama sekali tidak banyak menuntut apa pun dari dia. Ketika anak perempuan kami lahir dan mulai memasuki masa sekolah, situasi ekonomi semakin sulit. Akhirnya aku memutuskan untuk bekerja kembali di sebuah surat kabar mingguan (SKM). Dengan tujuan untuk membantu ekonomi keluargaku. Berbagai peluang yang ada, sengaja aku ambil supaya aku bisa memenuhi kebutuhanku. Dengan adanya pekerjaan baru, aku merasa ada kesulitan dalam mengasuh anak ketika kutinggal kerja. Sebagai solusi, aku mencoba mencari seorang pembantu untuk anakku, dan akhirnya aku dapatkan juga.
Namun suamiku menolak apa yang aku cari dengan alasan kurang bisa mengasuh anak. Akhimya aku menerima seorang pembantu pilihan dari suamiku. Walau perasaan kurang suka, aku pun setuju saja. Awalnya aku selalu berpikir positif dengan keadaan yang ada. Pembantu tersebut aku perlakukan seperti saudaraku, seperti temanku di dalam rumah. Ketika suatu hari ada puncak prahara di dalam rumah tanggaku, tiba-tiba saja banyak sekali hal yang berubah pada pembantuku itu. Sikapnya aneh, seolah-olah dia tidak berkenan denganku. Aku mencoba introspeksi terhadap diriku, mungkin aku berbuat kesalahan sehingga dia bersikap begitu padaku. Akhirnya masalah yang ada bisa kulebur dengan memperbaiki komunikasi sama keluarga dan pembantuku.
Namun semakin hari perubahan dalam rumah tanggaku bukannya semakin baik, justru bertambah buruk. Persoalan muncul kembali. Di situlah sesuatu yang semakin nyata terlihat transparan. Pada mulanya, aku tidak percaya dengan apa yang disampaikan saudara sepupuku dan juga tetangga yang menyaksikan keadaan ini. Akan tetapi aku sempat mendapati sendiri apa yang dilakukan oleh suamiku pada pembantuku. Mereka sudah lama melakukan perselingkuhan. Pengkhianatan suami dan pembantuku mereka lakukan ketika aku tidak ada di rumah. Awalnya aku menerima kenyataan yang sangat menyakitkan meski hati ini hancur-lebur bagai dihantam halilintar. Ada cobaan berat yang harus kuhadapi dengan tegar. Tetapi aku tak berharap, pernikahanku porak-poranda walau badai dahsyat menerjang perjalanan rumah tanggaku. Kucoba dan terus kucoba untuk memperbaiki komunikasi dengan suami. Ingin masalah segera selesai sambil menelaah kekuranganku. Temyata apa yang aku lakukan tak berguna sama sekali. Segala bentuk pengorbanan dan kesabaranku sia-sia. Suamiku menganggap aku gagal dalam membina rumah tangga dengannya. Bahkan pada setiap kesalahan, suamiku selalu membela pembantuku.
Saat berbelanja pun dia lebih suka berunding dengan pembantuku daripada harus berunding denganku. Seolah aku tidak ada artinya lagi buat dia. Sungguh naif kalau didengar tapi itulah realita yang benar-benar nyata. Aku tidak pernah menduga kalau pembantuku seorang pecundang dan pengkhianat. Ternyata selama ini dia munafik terhadap sikapnya yang sok alim dan sok suci itu. Di hadapanku selalu menunjukkan sikap manis, seolah dia itu sosok pembantu yang setia. Tapi setelah aku tak di rumah, pembantu pembawa sial itu dengan tega-teganya menggantikan posisiku di atas ranjang dan bergumul-ria dengan suamiku, hingga bunga-bunga cinta yang mereka pupuk menjadi janin di rahim pembantuku.
Ketika posisiku semakin terpuruk, aku sama sekali tak tahu apa yang harus kuperbuat, aku menghadapi dilema yang berat. Untuk bertahan aku sudah tak sanggup lagi. Dan untuk berpisah aku masih melihat si kecil yang masih perlu parhatian dan kasih sayang papanya. Dia juga perlu bimbinganku. Aku seperti dalam neraka walaupun di rumahku sendiri. Aku merasa tidak ada artinya lagi. Hancur sudah harapanku untuk mengabadikan pernikahan.
Aku dan anakku ditidurkan di gudang yang pengap. Di malam yang semakin gelap dan sunyi, sebentar-sebentar kubelai wajah anakku yang malang. "Kasihan kamu sayang, telah dicampakkan ayah yang sedianya membelaimu dengan lembut," bisikku di telinganya sambil terus kupeluk erat wajahnya dengan tangis tertahan. Sehanisnya malam ini kita berdua tidur di sisinya. Seharusnya malam ini aku ada di pelukannya, disentuh dengan jemari tangannya yang penuh kehangatan. Ah... Kutatap dinding gudang yang pengap. Air mataku terus menetes dan terus mengalir bagai derasnya hujan yang membasahi dedaunan yang kering. Dari detik ke detik kubayangkan kemesraan suamiku yang sedang dalam dekapan pembantuku. Alangkah nikmatnya mereka berdua bisa bebas bercinta sampai puas tanpa aku ganggu, tanpa diusik anak, tanpa digerebek warga.
Hingga hari menjelang pagi mataku tak mampu terpejam. Bayangan suamiku yang tengah bermesraan dengan pembantuku tak sanggup aku buang dari ingatan. Sepanjang malam aku gagal membuang kenangan indah bersama suamiku. Sepanjang malam pula aku tak bisa meredam kecemburuan. Alangkah beruntungnya pembantuku, dapat tidur sekamar di pelukan suamiku. Sedangkan aku, tiap malam harus menghuni gudang pengap bersama anakku. Ironisnya, kenapa aku mau saja dibuang ke gudang ? Semua kulakukan demi cintaku pada suami. Walau agak kesal dapat perlakuan buruk yang tak lagi dihias keadilan, tapi kuturuti saja apa maunya. Ingin rumah tanggaku tetap utuh. Sementara suami dan pembantu tidur di kamar pribadi yang selama ini kutempati bersama setiap saat melakukan hubungan suami-istri, aku dan anakku meringkuk di gudang.
Walau aku tahu suara masyarakat sekitar mulai mempergunjingkan perselingkuhan suamiku itu, tapi aku berusaha menutupi. Bahkan aku mulai mendengar rencana warga yang akan melakukan penggerebekan di rumahku. Jantung ini terasa berdebar kencang sewaktu mendengar rencana warga yang akan mempermalukan suamiku dengan pembantuku. Kasihan suamiku, seandainya hal itu terjadi. Privasinya di mata tetangga akan buruk. Alangkah malunya suamiku, lagi kencani pembantuku tiba-tiba digerebek warga. Itu tak boleh terjadi, aku harus melindungi suamiku walau dia mengecewakanku. Semoga kejadian yang tak menyenangkan bagi suamiku itu tak terwujud. Kendati perasaaaku sudah dia hancurkan, masih ada toleransi dalam pikiranku. Kucoba meredam kemarahan warga yang merasa kampungnya dikotori suamiku. Akhimya warga masih menghargai aku. Mereka mau mendengarkan permintaanku meski rona wajah mereka menggambarkan kekecewaan. Selanjutnya, warga membatalkan penggerebekan itu demi aku. Alhamdulillah, aku bersyukur warga tidak jadi menggerebek suamiku yang setiap malam tidur bersama pembantuku.
Sampai suatu ketika aku memutuskan untuk mengakhiri semua ini, karena aku sudah tak sanggup lagi menghadapi perilaku suamiku. Namun selang beberapa minggu kemudian, saat aku marah pada puncaknya suamiku sengaja menggantung aku, agar aku tidak bisa berbuat sesuatu ynag berguna. Dia sengaja membuat aku terbelenggu oleh masalah. Akan tetapi tidak demikian denganku. Aku tetap saja menghadapi masalah ini setegar mungkin. Aku banyak bertanya dengan orang yang lebih mengerti dengan masalahku ini. Banyak orang menyarankan agar aku bertahan demi anakku. Akan tetapi yang aku usahakan untuk bertahan lama sekali tidak bisa dan semakin menjadi-jadi saja. Ketika pembantu dan suamiku aku usir dari rumah, ternyata si pembantu yang selama ini mengkhianati aku sudah hamil. Aku merasa penderitaanku semakin lengkap. Aku merasa sudah tidak ada harapan untuk memperbaiki rumah tangga yang sudah kacau. Semua harus aku akhiri demi kebaikan, walaupun mengorbankan si kecil. Dan akhirnya aku tinggal di rumah dengan keadaan yang sederhana, asal aku bisa menyekolahkan si kecil.
Aku tidak pernah mengira kalau rumah tanggaku harus berakhir dengan perceraian. Akan tetapi biarlah kalau memang kenyataan itu yang harus kuhadapi, aku terima dengan hati tabah. Tuhan, kuatkan imanku agar aku tetap melangkah di jalan yang lurus. Kini, yang aku harapkan adalah aku bisa berumur panjang sehingga dapat mengasuh si kecil sampai dia menjadi orang yang sukses. Amiin. (Seperti diceritakan Lila kepada Roy Pujianto)R.26
Sumber : Majalah Fakta No. 565 Edisi April 2011
No comments:
Post a Comment