Cakil itu penggambaran dari sosok manusia yang sudah buruk rupa, buruk pula perangainya. Dia suka menjilat kanan kiri, dan juga suka mengadu domba atas bawah. Di tiap gelaran zaman, tokoh semacam Cakil selalu ada.
Tokoh Cakil, yang nama resminya Kiai Genðér Penjalén, adalah tokoh aneh, kalau perang tidak pernah menang dan selalu mati tertusuk kerisnya sendiri. Biarpun begitu ia sekaligus tokoh yang sakti karena biarpun kalah dan mati melulu ia selalu hidup lagi, hidup lagi, dan hidup lagi untuk berperang melawan satria yang lain. Dus, dalam dunia pewayangan tokoh yang paling sakti justru bukan satria2, tetapi Dityo Kolo Genðér Penjalén. Ia bisa dikalahkan tetapi tidak pernah bisa mati.
Jika Cakil adalah pralambang keburukan/ kejahatan, maka keburukan dan kejahatan tak pernah bisa mati. Sepanjang jaman. Penipu, maling, penganiaya, pembunuh, koruptor, dll, selalu diperangi tetapi tak pernah bisa mati. Selalu ada lagi, ada lagi, dan ada lagi. Itulah keseimbangan alam yang oleh Ki Sinðunoto yang mengungkap falsafah Jawi disebut Cakra Manggilingan (roda yang berputar).
Selalu ada senang-susah, gelap-terang, bahagia-samsara, jahat-baik, jelek-tampan, sukses-gagal, kecewa-puas, kaya-miskin, ada-tiada, kelahiran-kematian, dst, dst. Tiada sukses jika tak ada gagal. Tak ada puas jika tak ada kecewa. Tak ada kebaikan jika tak ada keburukan. Tak ada pemangsa (predator) kalau tak ada yang dimangsa. Yang dimangsa tak bisa eksis tanpa kehadiran pemangsa. Selalu ada dikotomi. Selalu ada pertentangan. Selalu ada oposisi biner. Itulah ekuilibrium=keseimbangan.
Sorga dan neraka ada bersamaan, di kurun waktu yang sama di ruang yang sama. Tak terpisahkan. Sorga dan neraka ada di dunia ini. Bersamaan. Mustahal ada 'kebahagiaan abadi'. Mustahal ada 'samsara abadi'. Itu paradox sorga dan neraka. Jika Cakil bermakna samsara, maka untuk berbahagia kita dihadang Cakil. Kita bunuh Cakil, ia hidup lagi, hidup lagi dan hidup lagi. Kebahagiaan baru ada jika ada samsara.
Cakil bisa juga kita pralambangkan dengan kesulitan hidup. Yang senantiasa menghadang kita (satria). Itulah 'Ðarma' kita berperang melawan kesulitan hidup yang ada pada sosok Cakil. Mengalahkan Cakil bukanlah hanya dengan membunuhnya karena ia tak bisa mati. Mengalahkan Cakil adalah memahami, bahwa ia tak bisa mati. Dengan paradigma ini kita menjadi lebih tegar dalam menghadapi kesulitan hidup (=Cakil). Apakah itu kekecewaan, kegagalan, kesedihan, samsara, nestapa, dll. Biarpun kita bisa mengatasi, kesulitan hidup selalu datang lagi, ibarat Cakil yang tak bisa mati.
Cakil adalah kelanggengan, selalu ada, tak pernah tiada, tak pernah berakir. Tanpa Cakil tak akan terjadi keseimbangan, yang ada adalah 'goro-goro' (kekacauan). Itulah Cakil, yang selalu ada di sekitar kita, the guardian of equilibrium, sang jogoboyo keseimbangan. Ia tak bisa mati. Itulah falsafah Jawi dalam dunia wayang yang sering merupakan replika dunia nyata.
Sumber : www.geocities.com/kibroto
No comments:
Post a Comment