Di sebuah hotel, aku dipaksa melayani hasrat biologisnya, itu terjadi berulang-ulang karena dua malam aku bersamanya.
Siang itu sepulang sekolah, rumah dalam keadaan sepi. Hal demikian bukan istimewa, karena memang kerap seperti itu. Tapi, siang itu, perasaanku tiba-tiba terasa terganggu. Namun, aku terus melangkah ke belakang, ke kamarku. Di kamar itulah aku biasa menghabiskan malam bersama adikku, Yayuk. Sedangkan adikku yang kecil tidur bersama ayah dan ibu di kamar depan. Meski perasaanku agak terganggu tetapi aku berusaha mengabaikan perasaan tersebut. Pikirku, barangkali saja ibu sedang di kamarnya bersama adik terkecilku, Setiadi. Sedangkan Yayuk belum pulang dari sekolah. Maka, seperti biasa pula aku segera berganti baju lalu makan.
Ada keinginan untuk bermain-main di luar rumah. Tetapi, mendung tebal menggantung di langit sehingga aku memilih bermain karet seorang diri di ruang tamu. Saat itulah samar-samar aku mendengar suara laki-laki di kamar orangtuaku. Mungkinkah itu suara ayah? Apakah ayah tidak bekerja? Apakah ayah pulang lebih cepat dari tempat kerjanya? Ada apa ya? Sekali lagi, kuabaikan suara laki-laki di kamar orangtuaku. Namun, perasaan kanak-kanakku mulai usil. Lebih-lebih suara itu terdengar begitu ceria, bercanda dengan ibuku. Suara tawa itu demikian menggoda hatiku. Tidak biasanya ayah dan ibu bercanda seperti itu. Digoda perasaan ingin tahu, aku pun langsung membuka pintu kamar ibu. Astaga! Nyaris aku tak percaya dengan penglihatanku. lbu dalam pelukan laki-laki lain. Keduanya sama-sama telanjang bulat tanpa mengenakan sehelai benang pun. Karena aku tak berani melihatnya lebih lama, pintu kamar langsung kututup dengan perasaan marah, sedih dan tak menentu.
Sungguh aku tak dapat menerjemahkan isi hati dan perasaanku saat itu. Tapi, lemarahanku ternyata tenggelam oleh kemarahan ibu. Bahkan, kemarahanku saat itu seketika menjadi ketakutan yang luar biasa. Betapa tidak, tak lama setelah aku menutup pintu kamar ibu dan mencoba menata jalan pikiranku, ibu sudah keluar dari kamar diikuti laki-laki yang bersamanya. Dan, laki-laki yang tak lain teman kerja ayahku itu langsung pergi meninggalkan rumah kami. Sementara ibu bertindak lebih keras dengan menjambak rambutku. Aku sama sekali tidak diberi kesempatan membela diri, bahkan suara tangis ini seolah tersekat di tenggorokan. Dan, ibu mengancam agar aku tidak bercerita pada siapa pun soal ini. Bila aku sampai bercerita, ibu akan membunuhku. Lalu diperintahkannya aku ke rumah nenek, menjemput kedua adikku, Yayuk serta Setiadi. Barulah aku mengerti bahwa hari itu ibu sengaja menitipkan adik-adikku di rumah nenek agar dia bisa bercinta dengan kekasih gelapnya. Setelah mencuci muka, aku pun berangkat ke rumah nenek yang jaraknya sekitar dua ratus meter dari rumah kami, terletak di gang yang berbeda.
Sejak aku memergoki perselingkuhan ibu dengan laki-laki lain itu perilaku ibu terhadapku mulai berubah. lbu yang sifat aslinva temperamental semakin brutal menghadapiku. Sedikit saja aku membuat kesalahan, tangkai sapu atau sapu lidi atau alat lainnya menjadi alat istimewa untuk menyakiti tubuhku. Dan, sepertinya aku ini musuh besar ibu, padahal saat itu aku masih kecil, masih kelas lima SD. Dan, yang lebih menyedihkan, tanggung jawab pekerjaan rumah tangga kemudian dialihkan ibu kepadaku. Misalnya, memasak nasi, mengisi air bak kamar mandi, mengisi air di dapur dan sebagainya menjadi tugasku yang tak boleh sedikitpun terlambat. Belum lagi mengurus adik-adikku. Kenyataan itu terkadang kurasa sangat berat. Betapa tidak, aku harus menimba di sumur, mengangkat air seember demi seember sampai bak kamar mandi penuh, menyapu, memasak dan semua pekerjaan di rumah menjadi bebanku. Dalam keadaan terdesak demikian, sebenarnya aku ingin mengadu pada ayah atau nenek. Tapi, aku takut dibunuh ibu.
Perilaku ibu semakin tidak dapat kuterima dan berimbas pada pelajaran di sekolah. Ya, aku menjadi anak yang bodoh di sekolah sampai-sampai ketika kelas enam SD aku tidak Iolos dalam ujian dan terpaksa mengulang kembali. Dapat dipastikan ibu menghajarku hingga kakiku tak dapat digerakkan. Beberapa bulan kemudian, aku dituduh kawanku mencuri uang sakunya. Demi Tuhan aku tak pernah mencuri meski aku tak pernah mendapat uang saku dari orangtuaku. Namun, pembelaanku sama sekali tak berarti dan tuduhan bahwa aku mencuri uang saku teman tersebut sampai di telinga ibu. Bukan main kemarahan ibu! Entah bagaimana cara ibu menghajarku, yang kuingat betis kaki kananku patah. Dengan penuh kasih, ayah yang sabar membawaku ke rumah sakit. Kepada dokter, ayah bercerita kalau aku terjatuh. Sungguh, semua serba kebohongan. Dan, aku juga terpaksa harus terus berbohong. Aku tahu, itu demi ibu, demi ayah dan demi semuanya. Bahkan sampai aku harus menjalani rawat inap di RS karena kakiku yang patah tersebut, aku tetap bertahan pada kebohongan.
Sepulang dari rumah sakit, aku langsung dibawa ke sangkal putung (pengobatan patah tulang alternatif). Ternyata, hasilnya justru lebih buruk. Kaki kananku tidak bisa kembali seperti semula. Aku cacat. Sejak itu jalanku terseok-seok ke kanan setiap kali melangkah. Namun, ayah terus memberiku semangat. Kata ayah, tidak apa-apa kakiku cacat nanti aku akan tetap bisa bekerja dan mendapat suami yang tampan serta baik, karena wajahku cantik dan kulitku kuning langsat. Begitu ayah menghiburku. Tetapi, sesungguhnya, aku tidak pernah merasa terhibur oleh apa pun atau siapa pun. Bagiku, selama aku masih berkumpul dengan ibu, neraka akan tetap menjadi jaminan hidupku. Meski demikian, aku tetap berusaha untuk bisa menyelesaikan sekolah sampai setinggi-tingginya seperti yang ayah harapkan. Ya, itu adalah harapan.
Nyatanya, aku hanya sempat mengenyam pendidikan sampai tamat SMP saja. Aku terpaksa tidak melanjutkan sekolah karena ibu memaksaku menerima pinangan laki-laki yang tak pernah kukenal. Sekali lagi demi ibu, demi obsesi ibu, aku tak mampu menolak. Pernikahan pun digelar. Bahkan, usai menikah dengan semangat riang ibu melepasku. Melepasku? Ya, ibu mengijinkan suamiku mengajakku pergi ke Sumatera, ke daerah baru sebagai transmigran. Tetapi, aku tidak tahan hidup di daerah baru itu. Kuungkapkan pada suamiku bahwa aku ingin pulang ke Jawa. Tanpa ada alasan atau jawaban, suamiku kemudian menitipkan aku kepada seorang kenalannya, kembali ke Jawa. Ketika kutanyakan kapan ia kembali ke Jawa, suamiku tak dapat memastikan. Dan, aku pun sampai di Surabaya bersama Pak Tarmuji, kenalan suamiku itu.
Dan, ternyata, Pak Tarmuji pun juga biadab. Di sebuah hotel, aku dipaksa melayani hasrat biologisnya, itu terjadi berulang-ulang karena dua malam aku bersamanya. Lalu, pada hari terakhir, ia melepasku dan memberiku ongkos pulang ke desa. Ya Tuhan, betapa kejam orang-orang yang kutemui. lbu, suamiku yang tega melepaskanku dengan menitipkan pada orang lain, dan Pak Tarmuji, kuanggap sebagai manusia-manusia berhati iblis.
Aku tak ingin pulang ke desa. Aku tak ingin ketemu ibu, bagiku sudah cukup sakit hatiku. Akhirnya, dengan bekal uang dari suamiku serta pemberian Pak Tarmuji, aku mencoba bertahan hidup di Surabaya. Di sanalah aku melamar kerja di sebuah depot yang cukup ramai sebagai tenaga serabutan . Gajianku diberikan setiap hari Sabtu. Ah, kusyukuri, karena aku telah mendapatkan makan, mendapatkan tempat untuk berteduh dan mendapatkan upah.
Namun, malapetaka lain tak dapat kuhindari. Keterlambatan haid yang sudah berjalan tiga bulan, kupikir hanya terlambat haid biasa. Ternyata aku hamil. Bu Ifah, pemilik depot, marah-marah ketika mengetahui aku hamil. la mengira aku melakukan sesuatu dengan pegawai laki-lakinya. Namun, kali ini aku tidak mau lagi mengarang cerita. Kubeberkan perjalanan hidupku sejak aku mengetahui perselingkuhan ibu, kuceritakan tentang suamiku juga tentang Pak Tarmuji. Kali ini Bu Ifah tak mampu berkata apa-apa. Kulihat sinar kasih di matanya. Dan, dia mengijinkan aku untuk tetap tinggal dan bekerja di depotnya.
Sejak kehamilanku diketahui, aku menjadi gunjingan banyak orang di sekitarku. Bu Ifah mengatakan pada teman-temanku bahwa aku sudah bersuami tapi aku melarikan diri dari suamiku. Yang menjadi pertanyaanku adalah anak siapa sebenarnya yang kukandung ini? Anak suamiku atau anak Pak Tarmuji? Hati ini rasanya remuk-redam tapi aku pasrah. Hingga akhirnya aku melahirkan seorang anak laki-laki. Tapi, anak itu tidak mirip suamiku atau Pak Tarmuji. Dia sangat mirip denganku. Lalu oleh Bu Ifah, anakku itu diangkat menjadi anaknya. Maka, aku patut berterima kasih pada Bu Ifah karena semua kebutuhanku kemudian dicukupi oleh Bu Ifah.
Sampai suatu hari ada seorang laki-laki yang menanyakan aku pada Bu Ifah. la jatuh cinta padaku dan menginginkan aku untuk menjadi istri keduanya. Dia berjanji akan mencukupi kebutuhanku. Akhirnya, aku menerima pinangan Pak Gianto. Orangnya masih muda, bersih, rapi dan tampan. la seorang pedagang tembakau. Sejak aku menikah dengan Pak Gianto, aku keluar dari depot Bu Ifah. Kutinggalkan anakku karena akhirnya Bu Ifah sudah menganggapku sebagai bagian dari keluarganya. Aku sendiri kemudian dibuatkan rumah oleh suamiku di daerah Gubeng.
Tiga anakku beruntun lahir, semuanya perempuan. Namun, manakala si sulung baru kelas tiga SMP, suamiku meninggal dunia. Lagi-lagi Bu Ifah yang kemudian menolongku. Bahkan Bu Ifah pula yang menganjurkan aku menengok orangtua serta adik-adikku di desa. Dan, sejak itu, ada beban baru lagi oleh karena ayahku sudah meninggal dunia, maka ibu memintaku memberi uang belanja untuk biaya hidup ibu padahal aku harus menghidupi ketiga anakku yang masih kecil-kecil. Maka, aku mencoba bekerja sebagai tukang pijat, dan ternyata hasilnya lumayan. Bahkan dari hasil sebagai tukang pijat ini, aku bisa membiayai sekolah anak-anakku. Namun, apa kemudian yang terjadi, diam-diam anak sulungku menjadi istri simpanan laki-laki beristri. la pemah dilabrak istri pertama suaminya. Tentu saja ini menjadi beban batin sendiri bagiku. Belum lagi anak keduaku, hamil di luar nikah. Anaknya terlahir cacat dan menjadi tanggunganku, karena ia sudah pergi entah ke mana. Tinggal anak terkecilku bekerja sebagai purel di tempat diskotik.
Sebenarnya, aku sedih melihat kehidupan anak-anakku. Tapi, aku tak mampu berbuat apa-apa. Dan, kubiarkan semua ini meluncur mengikuti sang waktu dan dalan hati aku masih memiliki harapan yakni anak laki-lakiku satu-satunya yang diasuh Bu Ifah. Tapi, apakah Bu Ifah tidak kecewa jika anak itu kuambil? Sebab, selama ini, anak itu diakui Bu Ifah sebagai anaknya. Si anak sendiri juga tak tahu bahwa dia sebenarnya anak angkat Bu Ifah dan kini si anak menjadi peternak ayam potong yang sukses. Ia juga memiliki ladang sayur di daerah Malang dengan luas berhektar-hektar. Tapi, dia sudah menikah dan memiliki seorang anak. Kendati melihat anak laki-lakiku sukses, tapi aku tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan semuanya. Aku takut melukai perasaan Bu Ifah maupun anakku sendiri. Ya Tuhan berikanlah kekuatan lahir dan batin pada hambaMu yang lemah ini agar mampu menghadapi semua tantangan kehidupan yang terasa sangat berat, Amiin. (Seperti yang dikisahkan Ibu Anna kepada Roy Pujianto)R.26
Sumber : Majalah Fakta No. 554 Edisi Mei 2010
No comments:
Post a Comment